RSS

Belajar dari FM 2013

12 Jan

Patah hati, sakit sekali rasanya. Sepadan dengan indahnya rasa cinta yang tersemai di dalam sebuah hati. Patah hati-atau biasa disebut dengan istilah “Galau” atau apalah-telah sukses mengusir selera makan, dan berhasil menguisik ketenangan dalam tidurku. sesuatu yang tak bisa kujelaskan lagi, karena aku yakin tiap orang pernah merasakan cinta dan juga merasakan patah hati. Namun aku tak akan membicarakan masalah itu. Patah hati terlalu sakit untuk direview, diingat-ingat atau bahkan disesali. Dan move on adalah jalan yang tepat untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi sakit hati. Setelah aku melewati masa-masa sulit, suatu hari aku diperkenalkan dengan obat yang (katanya) dapat menyembuhkan patah hati oleh rekanku. Sebuah obat yang bener-bener ampuh, dan sampai sekarang aku menjadi kecanduan olehnya. Dialah Football Manager 2013 (selanjutnya FM 2013), game sepak bola keluaran salah satu produsen game ternama. Karena aku dari dulu suka banget dengan bola, aku tak butuh waktu lama untuk bisa memainkannya.

Akhirnya aku tergiur untuk menginstallnya di laptopku. Setelah install selesai, kumulailah petualanganku. Menjadi seorang manager klub, yang sebenarya cuma pura-pura. Ini kan hanya permainan. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, aku pun tertarik untuk menangani klub London yaitu Arsenal. Padahal aku bukan penggemar Arsenal, aku fans Barcelona. 😀

“Kalo kamu melatih Barca kamu nggak akan mendapat tantangan bro. cobala pake klub Inggris, disana persaingannya ketat banget”. Itulah sekelumit nasehat dari sahabatku. Ingin rasanya melatih Lionel Messi cs, namun setelah kupikir-pikir aku harus mencari tantangan baru.

Dan benar saja, Arsenal menjadi sesuatu yang sangat baru bagiku, sama seperti kehidupanku yang harus memulai hidup baru kembali. Menjadi seorang jomblo lagi. Dan beradaptasi lagi, bakal jarang dapat sms atau telpon dari pacar. Mirip seperti kita yang “boyongan” ke kota lain, harus menyesuaikan dengan keadaan yang baru. Menata semua barang-barang kita, atau bisa saja disebut menginstall ulang semua sistem dan beralih ke sistem yang baru. Mengejutkan. J

Kembali ke FM 2013. Banyak hal yang harus kupelajari dari sebuah klub bernama Arsenal. Berhari-hari aku googling tentang formasi ideal dan strategi permainan The Gunners. Tak berhenti sampai di situ, aku pun mencari pemain baru yang memiliki karakter yang mirip dengan permainan Arsenal. Dua nama yang berhasil kudapatkan di masa-masa awal karierku, Ryan Shawcross dan Sven Bender. Kedua pemain itu pun sering kumainkan, karena memang memiliki permainan yang bagus. Aku selalu memujinya meskipun aku belum tahu wajahnya seperti apa.

Memainkan game ini memang telah banyak menyita perhatianku. Sesuatu telah berubah dalam keseharianku. Berbeda 180° dengan yang dulu. Yang ada di pikiranku saat ini adalah main dan menang, dan menang lagi. Dapat trofi atau pun juara Liga Inggris turut menjadi salah satu impianku. Aku tak pernah bosan memainkan game ini, malah sebaliknya aku semakin ketagihan dan makin penasaran. Dan tentu saja aku tak punya kesempatan lagi untuk memikirkan masa laluku, tak pernah terbersit sedikit pun. Suatu hari, sahabatku yang juga sama-sama baru saja patah hati sampai berujar “terpujilah sang penemu FM” 😀

Ada banyak hal yang dapat kupetik dari memainkan FM 2013. Lewat game itu aku diajarkan bagaimana merasakan kekalahan, bagaimana memahami perasaan para pemain, bagaimana menghiraukan kata-kata pelatih, bagaimana menghargai cemoohan dari lawan main kita, dan masih banyak lagi yang membuatku merasa bahwa aku belum bisa mendewasakan sikap. Contoh yang paling mengena adalah ketika Lukas Podolsky tiba-tiba moralnya poor, sangat buruk. Padahal Arsenal tidak kalah dan permainan tim juga bagus. Dalam FM, moral pemain terbagi menjadi 8 dari yang terndah yaitu abysmal, very poor, fairly poor, poor, okay, fairly good, very good dan yang terakhir superb. Aku bingung kenapa Poldi tiba-tiba ngambek, dan permainannya menjadi sangat buruk. Ketika aku puji dia, dia malah menanggapinya dengan amarah. Dalam beberapa permainan aku selalu menjadikannya starting IX, namun semuanya nihil. L

Puncaknya pada pertengahan musim, ketika Transfer Window musim dingin dibuka. Aku dengan berani memasukkannya ke dalam daftar jual. Sempat diminati oleh Bayern Leverkusen, aku pun tak berpikir lama untuk melepasnya. Aku lupa berapa nominal yang diajukan pihak Leverkusen, langsung saja ku accept. Aku menyesal dan juga lega dengan hal itu. Poldi siap-siap boyongan ke Bay Arena (markas Leverkusen).

Entah kenapa, negosiasi Poldi dengan Leverkusen berjalan alot. Poldi tak sepakat dengan besarnya gaji yang ia terima jika bermain untuk mereka. Aku semakin gelisah ketika ia menolak untuk bermain di Leverkusen. Pada akhirnya aku menghadapi anak asuhku yang sedang “ngambek” ini.

Maklum saja, aku baru setengah musim tinggal di Emirates Stadium. Sedikit sekali yang memberikan respect padaku. Seingatku hanya Olivier Giroud dan Mertesacker yang menjalin good relationship denganku. Hari demi hari aku berputar otak untuk mengembalikan semangat Podolski. Selama itu pula aku menghadapi berbagai pertandingan yang berat. Aku begitu ngotot mengharmoniskan ruang ganti karena kunci sebuah kesuksesan dari suatu klub tergantung ruang gantinya. Jika ruang ganti terasa harmonis, tak ada rasa iri tak ada persaingan yang tak sehat maka permainan yang padu pun akan terasa di tengah lapangan. Terasa semakin berat ketika tak hanya dia saja yang harus kuselesaikan. Miyaichi dan Abou Diaby yang ingin sekali bermain di tim utama, padahal nyatanya dia kurang bagus jika kumainkan. Kali ini aku benar-benar tertantang untuk menghadapi masalah ini.

Puncak masalahku dengan Podolski terjadi ketika dia kuajak bicara. Aku tiba-tiba menemukan akal. Kulihat profile Miyaichi dan Podolski. Aku pun bicara dengan dia agar menjadi tutor bagi pemain muda. Karena memang Miyaichi dan Podolski berada di pos yang sama, Attacking Midfielder (Left). Podolski pun bersedia memberikan tutorial kepada Miyaichi. Semenjak itu pula Poldi sering kumainkan, baik sebagai Starting IX atau pun substitution. Perlahan namun pasti, Poldi kembali ke performa terbaiknya. Sebuah kado manis darinya ketika ia mencetak gol setelah puasa gol untuk waktu yang sangat lama. Moralnya berangsur-angsur naik, menjadi fairly good, atau bahkan sempat superb ketika Arsenal menang besar.

Lewat kejadian itu, aku berkaca pada diriku sendiri. Aku selama ini selalu egois dengan siapa pun, selalu ingin memaksakan kehendak dan tak bisa bersabar dalam menghadapi masalah. Meskipun Poldi hanya ada di dalam game, namun ia kurasa seperti nyata di dalam kehidupanku. Aku lebih banyak belajar memahami keinginan dan pendapat orang lain. Rasa saling menghargai dan menghormati, tak sungkang memuji, dan menghadapi masalah dengan kepala tegak. Aku belajar banyak tentang FM, tentang memanajemen sebuah klub.

Sebenarnya masih banyak pengalaman yang inspiratif yang bisa kubagikan. Sampai jumpa di tulisanku selanjutnya.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 12 Januari 2014 inci Olahraga

 

Tag: , , , , , ,

Tinggalkan komentar